Wohoooo.....
Udah lama banget ga nengok-nengok blog ini, hampir setahun, atau lebih yaaa, hihihi. Awalnya, selama di Melbourne udah niatan mau post daily activities selama di sana. Nyatanya, ehmm...gak sempat. Alasan aja sih ya ini, kalau mau diluangin banget waktunya ya mungkin aja bisa, tapi rasanya kemarin-kemarin lebih memilih buat tidur saat ada waktu luang karena udah keseringan begadang #pencitraan.
Nah, sekarang ini ceritanya sudah lumayan banyak waktu luang nih, tentunya sebelum berjibaku dengan rutinitas mon-fri work activities yg sampe sekarang belum kebayang karena for the first time bakal ngantor PP naik bus untuk jangka waktu yg agak lama, in sya Allah 7 bulanan sampe dengan si Ayah kembali ngantor juga. Bismillah aja lah ya, semoga diberi kesabaran menghadapi lalu lintas ibukota yg hmm udah agak less familiar.
Cukup lah ya intronya. Oke, in this post I just wanna record some of my memories during our stay in Melbourne, tentunya sejauh ingatan saya aja. Siapa tau ada yg perlu, terutama yg mau memutuskan buat sekolah dan membawa keluarga (anak) without spouse ke Melbourne, yang mana dalam kasus saya, alhamdulillah memungkinkan.
1. Mendapatkan Akomodasi
Hal pertama yang terlintas buat yang mau bawa keluarga ke luar negeri tentunya ya akomodasi. Bahkan, beberapa teman belum berani memastikan tanggal kedatangan keluarganya sebelum memastikan adanya akomodasi permanen. Alhamdulillah, sebelum saya berangkat ke Melb, saya sudah mendapat kepastian dan bahkan sudah melunasi biaya sewa rumah bulan pertama dan biaya bond (semacam deposit yang dapat diambil kembali setelah masa sewa selesai). Melalui milis indomelb, saya akhirnya mendapatkan rumah (unit 2 kamar) yang bisa saya take over setelah gagal dalam take over sebelumnya. Awalnya saya memang berada di urutan pertama waiting list, yang artinya jika peminat sebelum saya membatalkan, barulah saya bisa mengajukan aplikasi permohonan. Ndilalah rezeki berpihak pada saya karena peminat sebelumnya entah kenapa batal sehingga tawaran take over jatuh kepada saya. Berbekal pertimbangan bahwa saya tidak mau capek-capek mengisi rumah dengan segala perabot sementara saya hanya akan menempati rumah tersebut kurang dari setahun dan pengalaman gagal dalam take over sebelumnya (tawaran take over selalu laris manis bak kacang goreng #lebay buat calon student seperti saya kala itu), saya hanya butuh waktu berpikir 1 hari dan kemudian meng-iya-kan tawaran tersebut. Oiya, saya juga hanya melihat kondisi rumah dari foto-foto yang dikirimkan oleh penyewa sebelumnya. Meski bukan rumah yang terlihat baru (a.k.a. rumah tua) saya cukup puas dengan kondisinya yang nampak bersih dan jarak dengan tram stop yang tidak terlampau jauh. Sesampai di Melb, rumah tersebut cukup sesuai dengan bayangan saya, walau saya tak mengira rumahnya setua itu, hahaha. Kata landlordnya rumah tersebut dibangun pada tahun 1985, seusia saya! Alhamdulillah selama tinggal di sana tidak ada kendala yang berarti.
2. Mencari Sekolah Anak
Anak saya, Kiki, memang baru berusia 3 tahun tepat saat datang ke Melb, namun saya sudah berniat untuk memasukkannya ke semacam playgroup (di Melb dikenal dengan pre-kindy untuk anak 3 tahun). Beberapa hari di awal kedatangan Kiki, saya sempatkan melihat-lihat beberapa kindy (kindergarten) di sekitar rumah yang masih terjangkau dengan jalan kaki atau sekali naik tram ataupun bus, mumpung jg masih ada Ayahnya yg saat itu mengantar, jadi biar ada yang diajak diskusi setelah survei. Pilihan akhirnya jatuh ke Moreland Kindy yang berjarak hanya 3 tram stop dari rumah. Alasan utamanya adalah karena di situlah satu-satunya sekolah yang membuka pre-Kindy dengan skedul hanya 2 jam per kedatangan dan seminggu hanya masuk 2 kali. Sekolah lain, umumnya menyediakan pre-Kindy yang termasuk dalam long day care activities, jadi Kiki harus ber"sekolah" dari pagi hingga sore hari, sementara di Indonesia dia belum pernah bersekolah atau berada di luar rumah tanpa pendampingan keluarga selama itu.
Butuh waktu hampir 2 bulan hingga Kiki mau bersekolah tanpa ditunggui dan tanpa menangis ketika kami tinggal. Cukup lama juga yaaa hehe. Tapi yang saya suka, di Moreland Kindy ini teacher (Lucy) dan assisstant (theresa) sangat sabar bahkan mempersilakan kami menunggui sekiranya Kiki belum bisa dilepas, walaupun perlahan setelah 1 bulan berlalu mereka mulai memastikan bahwa Kiki akan baik-baik saja tanpa keberadaan saya ataupun Uti di kelas. Alhasil, di hari pertama saya tinggal tak berapa lama setelah mengantarnya masuk ke kelas, Kiki menangis sejadinya dan baru diam 10 menit sebelum jam pulang sekolah. Rasanya saat itu ya tega gak tega. Uti nya yang lebih gak tega dan saya memposisikan diri harus tega karena kalau tidak begitu ya kasihan juga Lucy sudah capek-capek berusaha agar si anak merasa nyaman dengannya ataupun Theresa. Lambat laun, kami bisa melenggang meninggalkan kelas setelah mengantar Kiki dan diiringi dengan ucapan "bye Ibuk (atau Uti)" dari Kiki. Alhamdulillah, good job little girl.
Selama di Moreland Kindy, Kiki belajar apa? Well, sebenarnya, sekolah di Aussie terbilang jauhhh lebih santai dan tidak mengekang, apabila dibandingkan dengan sekolah di Indonesia untuk anak-anak seumurannya. Di sekolah kegiatannya hanya main, dimana mainan yang disediakan sangat banyak, baik permainan indoor maupun outdoor. Yang paling kiki suka adalah bermain pasir, asal gak lagi winter aja yaaa hahaha. Dalam waktu 2 jam itu ya anak-anak bener-bener dibebasin mau main apa aja yang ada, termasuk jika mereka mau membuka bekal yang sudah dibawa dari rumah dan makan di meja yang sudah disediakan bersama teman-temannya. Oh ya, soal makanan ini juga mereka sangat pay attention dan beberapa kali saya kena tegur karena membawakan kiki bekal biskuit bergula atau dengan isian cokelat #tutupmuka. Beberapa makanan memang dilarang untuk dibawa ke sekolah, seperti telur, kacang-kacangan karena beberapa anak ada yang memiliki alergi terhadap makanan tersebut. Sekitar 15 menit sebelum waktunya pulang, Lucy biasanya mengumpulkan anak-anak dan kemudian duduk melingkar untuk mendengarkan cerita, atau pun bernyanyi sambil berjoget.
Menurut saya, perkembangan kiki yang paling keliatan selama bersekolah di Moreland Kindy adalah dia jadi lebih berani bermain di luar ruangan, termasuk manjat-manjat dan perosotan, yang sebelumnya dia sangat penakut. Selain itu, dia juga jadi bisa pipis di toilet sendiri gara-gara pernah pipis bareng Alisha, temannya asal Pakistan, dan Kiki lihatin gmn caranya duduk di kloset. Sayangnya, di hari pertama dia bisa pipis sendiri, dia gak cebok dan langsung pakai celana hahaha. Tapi besokannya udah bisa lap pake tissue sendiri setelah saya beritahu.
3. Visa Turis untuk Ibu
Berhubung suami tidak bs mendampingi selama berada di Melb, saya mengajak serta Ibu (a.k.a. Uti) karena Kiki juga sangat attached ke Uti. Visa yang memungkinkan hanyalah visa turis yang mana setiap 3 bulan mengharuskan ibu saya keluar dari Aussie untuk kemudain kembali lagi, bahkan di hari yang sama pun tak masalah. Saya sudah berniat, kalau setiap 3 bulan tersebut ya kami bertiga (saya, ibu dan Kiki) akan bareng-bareng ke Indonesia. Kepulangan pertama, kami hanya singgah di Bali selama 3 hari, itung-itung sekalian refreshing. Tak disangka, Kiki betah banget dan kepincut ama Bali. Sampe sekarang pun dia masih suka nanyain kapan ke Bali lagi Bu? huehue. Kepulangan kedua, kami sudah berencana ke Jakarta, alias pulang ke rumah, yang juga bertepatan dengan ketemuan dengan si Ayah yang bulan depannya udah mau ke UK, hiks. Kepulangan ketiga, ya tentunya ke Jakarta lagi karena sudah tak ada lagi kuliah tinggal ujian saja, dan ujian di rumah udah pilihan paling tepat.
Ketika awal berangkat ke Melb, memang tak terbayang, gimana bisa ngumpulin uang buat beli tiket PP Indo-Melb buat bertiga. Alhamdulillah ada saja rezekinya dan sebagian besar tercover dengan menyisihkan sebagian stipend tiap bulannya. Oh ya, saya juga tidak sempat kerja part time yang sebenarnya diperbolehkan, jadi semua biaya ya murni tecover dari stipend tadi. Jadi, pilihan menggunakan visa turis masih feasible buat yang spouse nya gak bisa ikut dan ada keluarga yang bisa menemani.
4. Perkuliahan
Menjalani perkuliahan setelah vakum hampir 5 tahun sejak terakhir sekolah memang cukup menantang. Di semester pertama saya cukup struggle, di samping masih cukup banyak pikiran juga termasuk adaptasi kami sekeluarga. Di semester kedua, alhamdulillah sudah lebih paham trik-trik nya. Overall, sistem kuliah intensive cukup menguntungkan saya yang notabene harus meluangkan waktu PP ke Indonesia tiap 3 bulan. Sebaliknya, saya harus bekerja keras selama kelas intensif untuk bisa meng-cover bahan bacaan yang segambreng dan belum tentu saya mengerti andaikan saya baca jauh-jauh hari #ngeles. Ditambah lagi, sistem ujian take home exam dimana soal diberikan jam 12 siang hari jumat dan jawaban harus dikirimkan jam 5 sore hari senin-nya, membuat saya benar-benar seperti alien saja selama 4 hari itu. Bisa dibilang, saya hanya tidak menyentuh laptop atau buku saat saya makan, mandi, rehat sejenak, sholat dan bermain sebentar dengan Kiki. Kalau tidak ada Ibu yang menemani, entahlah apa jadinya saya saat harus membagi waktu kala ujian macam begitu.
5. Hiburan selama di Melbourne
Semenjak awal kuliah, saya sudah menurunkan target saya. Saya cukup tau diri dengan membawa keluarga dan harus membagi waktu dengan kuliah, saya hanya menargetkan untuk menyelesaikan kuliah dengan baik, itu saja. Saya bahkan mengubbur keinginan untuk bisa jalan-jalan keluar Melbourne dengan pertimbangan saya mesti nabung untuk bisa beli tiket PP ke Indo hahaha. Jadi ya jalan-jalan saya dan keluarga hanya seputaran City saja, paling jauh ke footscray, St. Kilda beach dan Brighton. Lalu, apakah saya sedih? Kiki dan Ibu saya gak hepi? Tidak sama sekali. Kiki bahkan sudah sangat senang dengan bisa bermain di playground dekat rumah setiap hari. Kami bahkan menyempatkan untuk mengunjungi beberapa playground yang keren-keren di sekitar City dan CBD. FYI, beberapa playground punya tema tersendiri dan ciamik banget dan bikin kami kangen Melbourne hahaha. Melbourne juga sangat kaya dengan festival ataupun event-event seru. Meskipun tak selalu bisa menikmati, kami cukup terhibur saat ada open house historical building. Selain itu, museum di Melbourne itu beda. Sebagian besar museum yang pernah saya datangi (gak banyak sih, hahaha) punya kids corner yang seru dan cukup niat sehingga bikin anak-anak betah. I guess anak-anak Melb bakal punya impresi yang beda terhadap museum, gak kaya saya waktu kecil yang super males kalo udah diajakin ke museum. Lastly, Library yang gampang banget ditemuin dengan koleksi buku yang bagus-bagus beserta weekly story telling and kids activities bikin gak bakal kehabisan ide deh mau ngajak anak kemana. Cukup liat di web masing-masing library untuk tau jadwalnya. Khusus di State Library of Victoria, ini yang paling keren menurut saya, story teller-nya gak cuman sendirian, dia ditemenin bisa 3 atau 4 orang yang bawa properti macem-macem sesuai cerita yang dibawakan. Pengunjungnya pun sangat banyak, dan selalu penuh. Gak heran dari anak kecil sampai elderly pada suka nongkrong di library untuk membaca atau apapun, karena library nya sendiri menyediakan banyak sekali kegiatan yang tentunya sangat menarik, termasuk aneka training, seperti cara nge-blog, dll, saya lupa.
6. Makanan dan kebutuhan sehari-hari
Ketika masih di Indonesia, saya selalu membayangkan, seperti apa bertahan hidup di negara lain yang mana belum tentu apa yang dimakan di Indonesia bisa ditemui di sana, bahkan nasi sekalipun. Ternyata saya keliru. Di Melbourne semua ada, sampai ke snack khas Indonesia dan segala macam bumbu dapur, ya asal siap merogoh kocek saja. At least, kalau kangen makanan Indonesia, ya di sana juga ada, kecuali tempe yaaa, yang gak setiap saat bisa dijumpai (beberapa supermarket Asia, macam KFL, Mix, dan Laguna kadang menjualnya). Sedangkan, makanan pokok, yaitu beras, pun selalu tersedia di supermarket besar, seperti Coles, Woolworths dan IGA. Saat sedang promo, harga beras bisa separuh harga dan comparable lah dengan harga beras di Indonesia. Malahan, kata Ibu saya, jasmine rice di Melb jauh lebih enak daripada beras yang biasa kami makan di Indonesia hahaha. Untuk obat-obatan dan pemb*l*t, saya memang prefer bawa dari Indonesia, selain harganya jauh lebih mahal, tidak semua obat mudah kita dapatkan, khususnya yang berlabel "dengan resep dokter".
Kira-kira itu kali ya yang saya bisa ceritain secara garis besar. Intinya, we're enjoying our time in Melbourne with all the ups and downs. But, we love staying in Indonesia moreee and moreee hehehe. See you.